Oleh : Irman "Sufi" Firmansyah, Ketua Yayasan Dapuran Kipahare
Sejarah kopi Nusantara tidak lepas dari peran Sukabumi sebagai produsen kopi utama yang disebut sebagai “emas hitam” di masa kolonial. Meskipun kopi bukan berasal dari Sukabumi, bahkan bukan dari Nusantara, namun iklim yang cocok untuk jenis kopi yang digemari seperti Arabika, Liberika dan Robusta, menegaskan peran penting Sukabumi dalam sejarah perkopian dunia.
Kedekatan Sukabumi dan kopi di antaranya dapat dilihat dari nama beberapa wilayah di Sukabumi, yang secara toponimi, bercirikan kopi seperti Gunungkopi di Gunungguruh, Selakopi di Karang Tengah, Selakopi di Cicantayan dan nama-nama kampung kopi lainnya.
Satu fakta unik lainnya adalah tahukah kamu bahwa panen kopi pertama kali VOC yang menjadi pemicu kejayaan kopi Nusantara adalah dari perkebunan di Sukabumi! Nah, banyak fakta yang membuka mata tentang kopi Sukabumi dalam acara bertajuk “THE ORIGINS: A Preanger Manual Brew Competition” yang diadakan di Cafe van Mila pada Minggu, 9 Desember 2018.
Kegiatan yang dipadati para penikmat kopi, pebisnis kopi dan berbagai komunitas di Sukabumi ini juga menyelipkan diskusi tentang Sejarah kopi Sukabumi. Sebagai narasumber adalah Pam Pam dari penikmat kopi, dan Irman “Sufi” Firmansyah dari Soekaboemi Heritages, yang juga adalah Ketua Yayasan Dapuran Kipahare.
Berikut 5 fakta yang terungkap dari diskusi yang juga dihadiri beberapa pejabat Disporapar Kota Sukabumi tersebut:
1. Gunungguruh, perkebunan kopi pertama yang menyetor hasil kopi
Biji kopi sejatinya berasal dari Abbesinia atau yang kini dikenal dengan Ethipia. Kemudian, kopi diperkenalkan sebagai minuman oleh bangsa Arab dan disebarkan melalui Pelabuhan al-Mukha atau Mocha, atau Mokha yang merupakan sebuah kota pelabuhan Laut Merah di pantai Yaman. Itulah asal muasal munculnya jenis kopi populer “mocca.”
Selanjutnya, kopi tiba di Sukabumi melalui pejabat Belanda yang membawanya ke Batavia dari Malabar (India) pada tahun 1656. Biji kopi kemudian ditanam di Batavia oleh Gubernur Jendral Van Outhoorn, namun gagal akibat banjir dan gempa. Cara kedua konon melalui stek dari perkebunan Malabar yang dikirim pada tahun 1699 seiring dengan diresmikannya Cianjur sebagai regentschap/kabupaten.
Hasilnya kemudian dikirim ke heren zeventien (para komisaris VOC di Belanda) dan diteliti di Kebun Raya Amsterdam (Hortus Botanicus) dan disimpulkan sebagai jenis kopi yang unggul. Bibit kopi kemudian diujicobakan oleh gubernur jendral berikutnya, Joan van Hoorn melalui para bupati di pesisir utara, namun mengalami kegagalan.
Selanjutnya, kopi diujicoba di wilayah pedalaman salah satunya di wilayah Cianjur melalui Bupati Cianjur, Wiratanudatar III. Wilayah kadaleman Cianjur saat itu meliputi Sukabumi utara sekarang, yaitu Gunungparang hingga Pagadungan (Cicurug). Tahun 1707, pasca ditumpasnya pemberontakan Prawatasari, dilakukan percobaan penanaman kopi di Gunungguruh, yang waktu itu masuk wilayah administratif Cianjur. Patih Wiranata ditunjuk oleh kakaknya, Wirataudatar III, untuk menangani langsung penanaman kopi di Gunungguruh.
Gunungguruh dipilih karena merupakan wilayah yang berpenduduk ramai sehingga disebut grote negorij. Gunungguruh serta wilayah Sukabumi lainnya, yaitu Jogjogan, Pondok Opo dan Muara Ratu (Pelabuhan Ratu) pernah diinspeksi oleh Abraham van Riebeeck (cucu pendiri Capetown di Afrika Selatan) pada tahun 1709, sebulan menjabat Gubernur Jendral menggantikan Van Hoorn. Van Riebeeck mengunjungi Pelabuhanratu dalam rangka pemetaan dan pencarian belerang. Sepulang ia dari Pelabuhanratu, yaitu April 1711 dilakukanlah panen kopi pertama dari Sukabumi dan wilayah Cianjur yang hasilnya sangat memuaskan sehingga Wiratanudatar III dijuluki penanam kopi terbesar.
2. Kopi Sukabumi mengalahkan produksi kopi Yaman
Gubernur Jendral Hendrick Zwardercoon (1718-1725), meningkatkan penanaman kopi sejenis Arabika. Sejak itu, perkebunan kopi kemudian menyebar di beberapa tempat di Sukabumi, mulai dari Gunungparang sampai ke Jampang. VOC kemudian memerintahkan tanam paksa pada tanggal 15 April 1723 yang membebani masyarakat Sukabumi dan Priangan pada umumnya.
Sistem eksplorasi baru yang diperkenalkan VOC ini dikenal dengan sebutan Sistem Priangan atau Preanger Stelsel. Akibat tanam paksa maka produktifitas kopi melonjak naik, dari 6 ton tahun 1922 hingga tahun 1724 menjadi 663 ton. Sementara itu, produksi kopi di Yaman tahun 1722 hanya memproduksi 832 ton kemudian menurun tahun 1724 menjadi 399 ton.
Setahun kemudian produksi kopi dari Sukabumi yang disentralisir melalui regentschap Cianjur, mencapai 1.216.527 (setara dengan 202.271,25 ringgit). Setengah hingga tiga perempat perdagangan kopi dunia berasal dari VOC dan jumlah itu setengahnya dihasilkan dari wilayah Priangan barat, yaitu Sukabumi-Cianjur.
Sementara itu, produksi kopi Yaman terus menurun mulai dari 228 ton tahun 1925, 264 ton tahun 1727, dan akhirnya tak berproduksi sama sekali tahun 1728. Tahun 1730, sekitar 4-6 juta pon kopi dari priangan termasuk dari perkebunan kopi Sukabumi diangkut ke Eropa sehingga orang Eropa kecanduan kopi.
Wilayah ini kemudian disebut sebagai pelampung VOC karena meningkatkan kas VOC dan memperkaya negeri Belanda. Kopi yang dikirim dari Priangan disebut Java Coffee, sehingga saking terkenalnya, orang Eropa mengistilahkan a cup of Java untuk secangkir kopi. Dari Priangan mengumpulkan 100.000 pikul atau 6.500 ton kopi per tahun menggeser dominasi kopi Yaman yang menguasai pasar dunia sebelumnya. Amsterdam pun berubah menjadi pusat lelang kopi, dan Belanda semakin kaya dan masyhur dari kopi.
3. Pemberontakan dan pembunuhan Wiratanudatar III akibat tanam paksa kopi
Untuk diketahui, Sukabumi mengalami dua masa tanam paksa, yaitu Preanger Stelsel (dimulai 15 April 1923), dan Cuultur Stelsel (masa Gubernur Jendal van Den Bosch-1830). Masa tanam paksa merupakan masa getir bagi masyarakat Sukabumi, setiap keluarga disebut sebagai cacah kopi yang wajib menyiapkan sebagian lahan untuk ditanami kopi dan dibebani target hingga 1000 batang kopi.
Semua warga yang disebut bumi (yang mempunyai lahan), numpang (yang hanya punya lahan pekarangan), maupun bujang (yang tak punya lahan) diwajibkan untuk menanam kopi. Masyarakat yang tidak patuh diberi hukuman mulai membersihkan kebun kopi pada malam hari, sebagian bahkan tewas dimakan harimau, hingga dipasung dan dicambuk dengan rotan.
Masyarakat juga terkena wabah pes pada tahun 1757-1758 akibat kurangnya kesehatan pangan dan sanitasi. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat Sukabumi menyingkir ke selatan untuk menghindari kewajiban tanam paksa.
Akibatnya, muncul berbagai pemberontakan terhadap Belanda terutama di wilayah Jampang. Tiga tahun pasca pemberontakan Prawatasari akibat tanam paksa tarum dan kapas, muncul pemberontakan lainnya akibat penanaman kopi pada tahun 1710. Pemberontakan tersebut juga terjadi di wilayah Jampang oleh 1000 petani yang dipimpin oleh seorang ulama.
Pemberontakan itu dipadamkan penjajah Belanda sekitar tahun 1713. Tak berselang lama, muncul pemberontakan lagi, kembali dari daerah Jampang yang dipimpin oleh tokoh bernama Dermakusuma diback-up oleh dua orang ulama, yaitu Tanuputra dan Wiradana. Di akhir pemberontakan itu, mereka ditangkap dan dibuang ke Srilanka.
Dampak selanjutnya dari pemberontakan itu, Jampang diserahkan oleh VOC kepada Cianjur pada tahun 1715, dan jabatan Umbul/Cutak Jampang dihapuskan. Keputusan itu membuat Bupati Wiratanudatar III menjadi musuh bersama para pemberontakan, terutama yang berbasis di Jampang.
Bahkan, di balik kematian Wiratanudatar III yang tragis, yaitu dibunuh, perselisihan perihal kopi ditengarai sebagai penyebabnya. Sepeti diketahui kematian Wiratanudatar III banyak versinya. Salah satunya pembunuhan sang Bupati dipicu oleh kebijakan pemotongan harga kopi yang ditanggapi dengan kemarahan oleh para petani. Kala itu, Bupati Wiratanudatar III hanya memberikan bayaran kopi 12,5 gulden dari yang seharusnya 17,5 gulden.
Pembunuhan Wiratanudatar III terjadi tiga tahun pasca tanam paksa. Wiratanudatar III pun menjadi korban pertama pejabat kopi di masa tanam Paksa. Pasca kematian Wiratanudatar III harga kopi diturunkan sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan dan menghindari pemberontakan dari para Bupati.
4. Para pencerah dunia dari perkebunan kopi di Sukabumi
Kopi dari Sukabumi dan Priangan merajai pasar kopi dunia dan memenuhi kedai-kedai kopi di Eropa. Tak sekedar nikmat diseruput, kopi asal Sukabumi ternyata juga memengaruhi perubahan sosial politik di Eropa. Kedai kopi merubah kultur Eropa sebagai peminum anggur menjadi peminum kopi. Kedai-kedai kopi menjadi tempat bertukar informasi dan menjadi gerbang ide-ide cerdas untuk kemajuan negeri maupun untuk mengadakan revolusi.
Komponis seperti Johan Sebastian Bach membuat komposisi berjudul Cantata Coffee, Isaac Newton menggali inspirasi di sebuah Cafe di London, Voltaire biasa menghabiskan 40 gelas kopi sehari sehingga ide-ide tentang revolusi Perancis muncul. Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson yang memicu Revolusi Amerika juga nongkrong di kedai kopi Procope di Paris saat menjadi diplomat.
Dari Perkebunan kopi Sukabumi sendiri muncul orang-orang besar yang dikenal dunia seperti George Lodewijk Gongrijp dari perkebunan Sindangsari, Nyalindung. Beliau adalah ahli ekonomi dunia yang setara dengan Adam Smith. Kemudian muncul juga Anda Kerkhoven dari Perkebunan kopi Panoembangan, Jampang tengah yang menjadi pejuang melawan NAZI Jerman di Eropa. Ada pula Vincent van Gogh adik pelukis besar Van Gogh yang mengelola perkebunan kopi Saninten di Pelabuhanratu.
Kopi seolah menciptakan orang-orang besar dengan pemikiran yang tajam dan berani. Tak hanya itu, para traveller juga menggambarkan kopi Sukabumi sedemikian rupa. Misalnya, Joseph Arnold (dianggap sebagai penemu bunga Rafflesia Arnoldi) yang mengunjungi Andries De Wilde di Sukabumi pada November 1815, menyebutkan tanaman kopi dalam perjalanannya dari Cianjur ke Sukabumi terhampar luas sejauh 10 km.
AG Voderman juga menyebutkan perkebunan kopi yang luas di sekitar Cibadak (Ardenburg) saat perjalanan ke Pelabuhanratu tahun 1886. Kemudian, Arthur C. Bicknell yang mengunjungi perkebunan Kopi Ciwangi dekat Cireunghas menyebutkan kopi yang sangat lezat dan terkenal di dunia. Hal yang sama disebutkan William Worsfold saat mengunjungi perkebunan kopi Ciwangi tahun 1892.
Terakhir ada Raja Thailand Rama V yang dijamu minum kopi oleh Bupati Cianjur tahun 1896 sebelum berkereta api mengunjungi Sukabumi. Ia menyebut hidangan kopi Sukabumi lezat sekali.
5. “Emas hitam” Sukabumi dilibas “emas hijau”
Pasca UU Agraria tahun 1870 muncullah perkebunan-perkebunan kopi swasta di Sukabumi. Gudang-gudang kopi (pakhuizen) tersebar di Sagaranten, Cikawung, Pasawahan, Bojongkenteng, Caringin, Ciheulang, Cikembar, Sukabumi, Gekbrong dan juga di Pelabuhanratu. Kopi swasta pertama yang didirikan sebelum UU agraria adalah Cibungur pada tahun 1865 sejumlah 173 bau (1 bau=0,8 hektar).
Perkebunan kopi swasta lainnya yang muncul di Distrik Pelabuhan sejumlah 2.885 bau, terdiri atas perkebunan Cisalak, Cibungur, Ongkrak, Ardenburg, Malingut dan Sukamaju. Kemudian di Distrik Jampang Tengah beridri juga perkebunan Cicalobak, Sindangsari, Caringin, Panumbangan, Gunungsari dan Gunungmalang. Terakhir, di Distrik Cicurug terdiri atas perkebunan Cilorama dan Cibaregbeg.
Bencana bagi kopi Sukabumi terjadi sekitar tahun 1878, saat muncul hama wedang dan penyakit daun (hemileia vasatrix). Dampaknya, tanaman kopi Arabika di Sukabumi hancur. Dalam proses yang agak panjang, tanaman tersebut digantikan oleh kopi Liberika dan akhirnya Robusta yang dianggap lebih kuat daya tahan tinggi terhadap hama dan mudah penanganan holtikulturanya.
Selanjutnya, mulai tahun 1870 tanaman kopi mulai menurun. Di wilayah afdeling Sukabumi, hanya Jampang Tengah yang masih memiliki pohon kopi yang banyak. Tahun 1910, jumlah tanaman kopi di seluruh Sukabumi total hanya 910.270 batang. Komoditi kopi lambat laun terus meredup karena muncul komoditas tanaman lain yang lebih menjanjikan, yaitu teh yang disebut “emas hijau.”
Pada saat kebijakan tanam paksa kopi dihapus tahun 1917, beberapa perkebunan swasta masih menanam kopi yang divariasikan dengan komoditas lain. Beberapa perkebunan kopi yang tercatat hingga tahun 1937 di antaranya Gunungkarang (Darma Kradenan) Cibadak, Gunungrosa (Cireunghas), Gunungwayang (Parakansalak), Hadi Haja (Kalapanunggal), Hay Teng Tenjo Laut (Bojonglopang), Linggamanik (Cibadak), Pasir Awi Lengkong (Pelabuhanratu), Pasir Gede (Sukabumi), Pasir Telaga (Pelabuhanratu), Sukawayana Cikakak (Pelabuhanratu), Sumber Agung (Sukabumi), Tegal Jambe (Tenjolaut), Tenjo Laut Tempelaar (Pelabuhanratu), Tjimenteng (Cibadak) dan Tjitandoh (Pelabuhanratu).
Perkebunan-perkebunan tersebut masih bertahan meskipun dilanda Malaise (Depresi Besar/ peristiwa menurunnya tingkat ekonomi secara dramatis di seluruh dunia yang mulai terjadi pada tahun 1929). Hingga akhirnya Perang Dunia II (tahun 1939-1945) pecah dan perkebunan kopi hampir semuanya terbengkalai dan mati di masa pendudukan Jepang.
Sumber :